Thursday, September 6, 2012

Meninggalkan keluarga


Dalam kasus kami, pada saat itu kami meninggalkan dua anak umur 17 bulan & 33 bulan. Alhamdulillah kedua orang tua suami bersedia diundang ke Jepang dan menjaga mereka. Tidak sepenuhnya sendiri memang, karena ada adik ipar yang tinggal di Kawasaki, dan seringnya menginap di rumah kami pada saat kami haji. Alhamdulilah Allah berikan banyak kemudahan dalam proses saat itu.

Karena kedua anak kami belum sekolah, jadi persiapan kami juga tidak terlalu banyak. Kami menuliskan dokumen tersendiri dalam satu binder yang isinya kebiasaan anak2, kegiatan sehari2, tempat menyimpan P3K, daftar klinik langganan, panduan bila terjadi gempa, wasiat terakhir bila kami tidak bisa kembali pasca Haji). Untuk kebutuhan2 anak lainnya (snack, pampers, dsb) sudah kami stock sebelum berangkat sehingga nanti orangtua kami hanya perlu berbelanja kebutuhan sehari2 di supa terdekat.

Anak kedua kami (Lulwa, 17 bulan saat itu) sebenarnya sering menjadi beban pikiran saya sebelum memutuskan berangkat. Disamping masih asi, dia juga tipe yang bakal nangis kalo ga keliatan ibunya. Wong dirumah saat ditinggal mamanya ke toilet aja udah nangis.

Saya sering bertanya pada teman saya Pici (Ummu Afif) yang punya pengalaman serupa tahun lalu. Alhamdulillah suami, orang tua, dan teman2 semuanya memantapkan, maka saya pun memutuskan untuk berangkat saat itu. Pertimbangannya kami mungkin ga lama lagi di Jepang, di Indonesia belum tentu bisa haji semudah ini. Juga memandang bahwa pada dasarnya usia Lulwa saat itu sudah cukup jika ditinggal, minum asi di keseharian cuma pada saat bete atau mau bobo saja. Selama masih aktif, Lulwa sudah bisa minum apa saja baik susu segar, fomula, air, jus dsb. Kemudian setelah haji pun saya berniat akan memberikan asi lagi.

Jadi persiapan 1 bulan sebelum berangkat adalah mulai sering2 ninggalin Lulwa sama papanya di rumah. Kemudian saya juga coba nitipin ke nursery per-jam punya kuyakusho (kelurahan), hampir 2 minggu saya nitipin mereka disana walopun ga setiap hari. Sambil terkadang dicoba juga dititip ke teman2 yang ada di masjid Otsuka. Semuanya reaksinya sama untuk Lulwa. Selalu nangis sampe capek kemudian tertidur sampai saya jemput :).

Latihan masih berlanjut ketika ortu suami datang seminggu sebelum haji, saya pun sengaja sering ninggalin anak2 dengan datuk-dadongnya. Saya tinggal keluar rumah, langsung nangis dan baru berhenti kalo diselimurin keluar rumah, itupun kalo diajak balik ke rumah, akan nangis lagi karena teringat ditinggal tadi, ckckc.. Bener2 dilema sebenarnya ya, tapi alhamdulillah salah satu yang kembali menguatkan saya saat itu adalah pesan ibu mertua saya. Beliau menegaskan, bahwa saya jangan khawatir dengan Lulwa. Kalo sudah disana, fokus dengan ibadah, yang khusuk dan semaksimal mungkin. Ini mungkin akan jadi kesempatan sekali seumur hidup. InsyaAllah Lulwa akan baik2 saja, karena haji adalah memenuhi kewajiban kita kepada Allah, maka Allah pulalah yang akan menjaga keluarga kita. Akhirnya bismillah, saya pun lebih tenang sejak saat itu, nggak kepikiran lagi meski Lulwa masih nangis2 kalo ditinggal.

Biidznillah, janji Allah dibuktikan pada hari H saat saya berangkat haji. Bada subuh, kami berunding agar nanti saat kami berangkat, anak2 diselimurkan saja dengan dibawa jalan2 keliling rumah dan main. Tapi menjelang keberangkatan, suami meminta supaya dibiarkan saja anak2 melihat kami pergi dan berpamitan, agar mereka ngga merasa dibohongi. Akhirnya dirumah kami berpamitan sambil menunjukkan gambar Kabah. Kami bilang pada mereka bahwa kami akan kesitu untuk haji, sholat dan labbaik (si sulung sudah familiar dengan doa talbiyah). Kami juga bilang bahwa mereka akan dijaga sama Allah dan datuk/dadongnya. Lalu mereka semua ikut mengantar keluar sampai tempat taksi. Sebelum masuk taksi, kami pamitan terakhir dengan lancar. Mereka berdua senyum2, dan ikut say bye2 sampai kami ga terlihat lagi. Hiks, jadi terharu sendiri.

Cerita datuknya, mereka ceria saja selama ditinggal. Cuma Lulwa doang yang di hari pertama, pas malamnya nangis lumayan lama tanpa bilang apa2. Kemungkinan karena sudah ngantuk dan dia bingung karena ga biasa tidur tanpa nenen. Tapi hari kedua dst, sudah ngga nangis. Kalau kami telpon pun, mereka menyambut dengan ceria, bukannya nangis. Dan mashaAllah, si Lulwa makannya jadi lebih lahap selama kami tinggal. Alhamdulillah, Allah mendengar pinta saya supaya Lulwa mendapat ganti yang jauh lebih baik dari ASI yang saya buang selama di perjalanan. InshaAllah.

Pengalaman teman kami yang lain (mbak Dewi Mardhana), beliau meninggalkan 2 anak yang sudah usia sekolah SD dititipkan di teman, pasangan Indonesia yang masih muda. Selama haji, temannya diminta tinggal di rumahnya. Segala kebutuhan anaknya selama 20 hari sudah disiapkan, mulai dari baju sekolah yang akan dipakai (sudah digantung urut berdasarkan hari penggunaan), lauk untuk bento selama 20 hari (masak jumlah besar lalu di taruh di freezer sehingga nanti tuan rumah pengganti ga perlu repot masak). Untuk tuan rumah juga dibuatin lauk sejenis rendang atau semacamnya. Kemudian juga menuliskan jadwal kegiatan anak full sehari2.

No comments:

Post a Comment